Seminar "Mengetuk Gerbang Pernikahan Barakah" Kuala Lumpur, Ahad 20
Februari 2005
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Barangkali, Kitalah Penyebabnya
Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS kepada saya. Dia
seorang aktivis yang amat banyak menghabiskan waktunya untuk
menyebarkan kebaikan. Bila berbicara dengannya, kesan yang tampak
adalah semangat yang besar di dadannya untuk melakukan perbaikan.
Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil, tak apa-apa.
Sebab perubahan yang besar tak `kan terjadi bila kita tidak mau
memulai dari yang kecil. Tetapi kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk
berbagi semangat. Ia kirimkan SMS karena ingin meringankan beban yang
hampir ada kerinduan yang semakin berambah untuk memiliki pendamping
yang dapat menyayanginya sepenuh hati.
SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lainnya. Usia sudah
melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan
rindu. Seorang pria usia sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup
sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah,
tapi takut ! tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara
terus melajang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu
ia ingin menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niat itu
dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus mengumpulkan
dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa
bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang
tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa
bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa
adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan
meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa
menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, "Hai, cowok...
Godain kita, dong. "
Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah).
Beliau berkata, "Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris." Bila
bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah
juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa mendapatkan pendamping yang
mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap
kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau jadikan
gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau
mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di
hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan
menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin
engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya
dengan menggoda?
Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih
pernikahan yang diridhai tak jarang kerana kita sendiri
mempersulitnya. Suatau saat seorang perempuan memerlukan perhatian
dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia
merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan
rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah
ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang.
Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada dirinya. Jabatannya
yang cukup mapan di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa
saja, kecuali kasih-sayang suami.
Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada
yang mau serius dengannya, tetapi demi karir yang diimpikan, ia
menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan
dengan seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang
diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah
tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa
suami, sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya,
sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran
itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama
sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.
Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda
pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan
melaksanakannya ketika Allah masih memberinya kesempatan karena
alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang "wah". Mereka tetap
mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun
dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat
diingkari, tetapi mereka menundanya karena masih ingin mengumpulkan
biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik "alasan karier" walau
sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada
yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 ("Tahun
depan kan belum tentu ada beasiswa"). Ia mendahulukan pra-sangka
bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu
mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah memperingatkan:
"Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang
engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila
tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan
timbul kerusakan yang merata di muka bumi." (HR. At-Ti! rmidzi dan
Ahmad).
Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan
oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah,
mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris
tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa
ada alasan syar'i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di
saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah benarbenar
gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.
Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia
dua puluh tahunan mereka menuda nikah karena takut dengan ekonominya
yang belum mapan, di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga
puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami
sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama
mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan
kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin
banyak ! kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula
dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang
terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan
keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun,
masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang
mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh
laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga
hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-
an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih
lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan
lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih
kecil, ia sudah tak sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah
nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah), jangan-jangan
ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila
tak ada iman di hati, ketakutan ini akhi! rnya melahirkan keputusasaan.
Wallahu A'lam bishawab.
Ya... ya... ya..., kadang kita sendirilah penyebabnya, kita
mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi
kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia
sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak
berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan
kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berkepanjangan.
Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah.
Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan
kita. Laa ilaaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minazh-zhalimin.
Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang
menolak untuk menikah boleh jadi karena matanya disilaukan oleh
dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya
pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah karena yang
datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela
dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum
bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung
melakukannya. Boleh jadi pula ia sangat memahami benar pentingnya
bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah
datang kesempatan dari Allah, tetapi... sukunya berbeda, atau sebabsebab
lain yang sama sepelenya.
Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari
Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits ?seorang
sahabat Nabi Saw.- kita selalu menguntit kemana pun Barirah
melangkah. Mata kita mengawasi, hati kita mencari-cari dan telinga
kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu
kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam
lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip
dari Al-Mada'iny, "Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih,
tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta."
Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir
jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga
mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti ?
kadang sampai membuat badan kita kurus kering- sampai batas waktu
yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia
jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada
langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita
tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu
ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada
makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu
pembicaraan itu sampai di sini.
Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri
Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah
pertolongan-Nya dengan do'a. Di saat engkau merasa tak sanggup
menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh
kesungguhan, "Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau
adalah sebaik-baik Warits." (QS. Al-Abiya': 89).
Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.
Ini sesungguhnya adalah do'a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya
untuk memohon keturunan kepada Allah Ta'ala. Ia memohon kepada Allah
untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa
menyejukkan mata.
Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada
Allah `Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping
yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-
Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya
apa yang terbaik untuk kita.
Kapan do'a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh
rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do'a itu di saat kita merasa amat
membutuhkan hadirnya seorang pendampin; saat hati kita dicekam oleh
kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi
kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do'a
saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allah
jadikan do'a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.